BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara etimologis kata
etika berasal dari bahasa yunani yaitu ‘Ethos” berarti watak kesusilaan atau
adat.Etika memuat nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, pendapat Ki Hajar
Dewantara (1962) dalam Zubair (1992) Etika adalah “ilmu yang mempelajari soal
kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia, teristimewa yang mengenai
gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan,
sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan”. Etika adalah ilmu pengetahuan yang mengandung muatan
normatif yang memberikan paduan perilaku manusia dalam masyarakat atau dalam
suatu komunitas tertentu tentang baik dan buruk atau benar dan salah.Menurut
Zubair dibagi 3 aspek: aspek
historis, aspek deskriptif , dan aspek normatif.
Perguruan tinggi
membentuk masyarakat yang di kenal dengan sebutan masyarakat kampus. Dan hal
yang baru akan ditemui oleh calon mahasiswa. Mereka akan mulai mengenal senior
dan dosen-dosennya serta hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat kampus.
Etika masyarakat kampus disebut sebagai etika akademik bersifat universal
karena berdasarkan ilmu dan kearifan, juga adat kebiasaan lokasi dimana kampus
tersebut berada akan mempengaruhi tata krama pergaulan dalam kampus tersebut.
Etika akademik berlandasan pada ilmu dan kecendekiaan atau
kearifan, kecendikiaan tersirat dalam etika akademik ini adalah bentuk
kesadaran terhadap pentingnya kemanusiaan dalam pergaulan sosial yang
didasarkan pada penguasaan ilmu .mereka yang memiliki wawasan keilmuan dan kearifan
yang luas cenderung menerapkan etika akademik dalam kehidupannya, sebaliknya
rendah pengusaan ilmu dan sempitnya wawasan biasanya akan mendorong prilaku
sesorang sekedar mengikuti nalurinya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana permasalahan etika ilmu
2.
Apa pengertian penalaran dan logika
3.
Apa pengertian etika ilmu pengetahuan
4.
Apa pengertian etika akademis
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui tentang permasalahan etika
ilmu
2.
Untuk mengetahui tentang pengertian penalaran
dan logika
3.
Untuk mengetahui tentang pengertian etika ilmu
pengetahuan
4.
Untuk mengetahui tentang pengertian etika
akademis
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Permasalahan Etika Ilmu
Permasalahan yang
terjadi saat ini adalah tingginya apatisme masyarakat terhadap etika keilmuan
berkaitan dengan problematika yang terjadi, kurangnya kepekaan terhadap
lingkungan sehingga munculah fenomena-fenomena negatif. Misalnya, dalam ilmu pengetahuan
yang lalu di mana pada masa sekarang belum sungguh-sungguh terselesaikan,
seperti contohnya: bekas-bekas pembungkus keperluan sehari-hari seperti
plastik, buangan limbah rumah tangga, semuanya akan mencemari lingkungan.
Masalah seperti ini tentu saja akan bersentuhan dengan masyarakat yang menuntut
tanggung jawab etis terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini mendorong
manusia untuk mencari pemecahannya, dan walaupun sekarang sudah dapat ditemukan
cara pangatasannya dengan mengolah dan mendaur ulang (recycle) terhadap
sebagian limbah-limbah industri, sehingga keberadaan manusia tidak terganggu
lagi oleh sebagian limbah yang membahayakan eksistensi manusia.
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini relevansi yang harus diperhatikan menurut Achmad Charris Zubair adalah:
a. Kodrat manusia
b. Martabat manusia
c. Menjaga keseimbangan ekosistem
d. Bersifat universal
e. Bertanggung jawab pada kepentingan umum
f. dan pada kepentingan generasi mendatang
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengembangkan dan memperkokoh manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.[3]
1. Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, KANISIUS: Yogyakarta, 1992, hal. 42.
2. M. Amril Etika Islam, Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, Pustaka Pelajar: Jogjakarta, 2002 Cet. Ke 2.
3. Acmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu pengetahuan Manusia (Kajian
Filsafat Ilmu), LESFI: Jakarta, 2002, h. 42.
D. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalisme Ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descrates dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu penegetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya usaha kebebasan ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu social harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan ke dalam bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuwan sosia tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah. (Rizal Mustansyir dan Misnal munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu sosial harus bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. [4] B. Penalaran dan Logika
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini relevansi yang harus diperhatikan menurut Achmad Charris Zubair adalah:
a. Kodrat manusia
b. Martabat manusia
c. Menjaga keseimbangan ekosistem
d. Bersifat universal
e. Bertanggung jawab pada kepentingan umum
f. dan pada kepentingan generasi mendatang
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengembangkan dan memperkokoh manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.[3]
1. Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, KANISIUS: Yogyakarta, 1992, hal. 42.
2. M. Amril Etika Islam, Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, Pustaka Pelajar: Jogjakarta, 2002 Cet. Ke 2.
3. Acmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu pengetahuan Manusia (Kajian
Filsafat Ilmu), LESFI: Jakarta, 2002, h. 42.
D. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalisme Ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descrates dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu penegetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya usaha kebebasan ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu social harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan ke dalam bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuwan sosia tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah. (Rizal Mustansyir dan Misnal munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu sosial harus bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. [4] B. Penalaran dan Logika
Penalaran adalah proses berpikir yang
bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep
dan pengertian. berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarkan
sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan
sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. proses inilah yang
disebut menalar.
Logika deduktif yaitu
penarikan kesimpulan dalam metode ilmiah menggunakan logika kasus yang bersifat
individual lalu logika deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari kasus-kasus
individu menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
c.
etika ilmu pengetahuan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi
ketiga (2005:309), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
serta tentang hak dan kewajiban moral. Moral yang dimaksudkan di sini adalah
akhlak, yakni budi pekerti atau kelakuan makhluk hidup. itu dengan kata lain
disebutkan bahwa etika itu membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang
baik, yang di dalamnya ada aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan
sebagainya. Sedangkan Etika
ilmu pengetahuan mengantarkan kita pada kontemplasi mendalam, baik
mengenai hakekat, proses pembentukan, lembaga yang memproduksi ilmu lingkungan
yang kondusif dalam pengembangan ilmu, maupun moralitas dalam memperoleh dan
mendayagunakan ilmu tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan.
d.
Etika
akademis
Dalam The Encyclopedia of Philosophy
istilah Etika digunakan dalam tiga
penggunaan yang berbeda namun saling terkait, yaitu 1) Sebuah pola umum
atau cara hidup, 2) serangkaian aturan tingkah laku atau kode etik dan 3)
penelitian mengenai cara-cara hidup dan
aturan-aturan tingkah lakukan
Menurut
Parsudi Suparlan Etika dapat dilihat sebagai aturan-aturan mengenai nlai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang merupakan pedoman
bagi anggota sesuatu profesi atau
kehidupan sosial tertentu dalam mewujudkan tindakan-tindakan sehingga tindakan-tindakan
tersebut tercermin kualitas moral dan
kecocokan dengan hakikat profesi atau kehidupan sosial tersebut.
Sedangkan menurut Karl Berth etika (dari ethos) adalah sebanding dengan moral
(dari mos) menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia, suatu
karena itu, secara umum etika atau moral adalah filsafat,
ilmu atau disiplin tentang moda-moda
tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia.[1][6]
Dalam kehidupan
kemodrenan nilai etis sangatlah penting dijadikan konsep dan ajaran yang serba
meliputi (komprehensif) menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk,
benar dan salah.
Di kalangan ilmuwan
pemakaian kata etika telah mendapat arti yang lebih dalam daripada kata
moral. Kata moral telah mendangkal artinya, kadang-kadang moral hanya
berarti kelakuan lahir seseorang, sedangkan etika tidak hanya menyinggung
perbuatan lahir saja, tetapi selalu menyinggung kaidah dan motif-motif
perbuatan yang lebih mendalam.
Bilamana etika mencakup
atas perbuatan lahir dan juga menyinggung motif perbuatan maka dipandang bahwa
semua etika terbangun dalam setiap diri manusia dan profesi serta tanggung
jawab. Dengan demikian setiap etika dipandang sebagai kebutuhan karena
terkait kualitas pelaksanaan kegiatan dalam masing-masing profesi. Bisa dikatakan
secara historis, perumusan etika berjalan beriringan dengan perkembangan kompleksitas
sistem sosial umat Islam dan profesionalisasi berbagai bidang kehidupan umat
Islam.
Perkembangan pengkajian
etika di dunia Perguruan Tinggi (dalam hal ini dibatasi pada dekade abad 20)
disebabkan alasan bahwa pada akhir 1960-an dan permulaan 1970-an muncul
revolusi mahasiswa di berbagai negara Barat. Salah satu puncaknya terjadi di
Perancis tahun 1968, yang menuntut hak mahasiswa untuk diikutkan dalam
pengurusan perguruan tinggi dengan diwakili dalam organ-organ yang menentukan
kebijakan akademis. Revolusi itu bisa dilihat sebagai perjuangan menuntut hak.
Gejala itu menunjukkan
bahwa etika penting diterapkan di tengah suasana yang jelas ditandai kepedulian
etis yang mendalam. Dalam tulisan ini menitikberatkan pergumulan etika akademis
dalam budaya akademis yang merupakan seluruh sistem nilai, gagasan, norma,
tindakan, dan karya yang bersumber dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sesuai
dengan asas Pendidikan Tinggi sebagaimana termuat pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pada paragraf 3 pasal 5
menyebutkan bahwa: Sivitas
Akademika berkewajiban memelihara dan mengembangkan budaya akademik dengan
memperlakukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai proses dan produk serta
sebagai amal dan paradigma moral.
Kajian etika akademis
menganalisis secara komprehensif tentang aspek sosio historis yang berlaku
dalam budaya akademik pada abad 20 ini merupakan tema sentral yang perlu untuk
diperbincangkan. Etika akademis adalah hakikat kegiatan ilmiah yang berlangsung
di dunia akademik di perguruan tinggi yang berlaku secara universal, seperti
kejujuran, ketelitian, keterbukaan,
objektivitas, rendah hati, kemauan untuk belajar dan berkembang, siap untuk
menerima kritikan, saling menghormati dan tidak berlaku diskriminatif. Oleh
sebab itu seluruh komponen sivitas
akademika semestinya memahami dengan benar dan merasa terikat dengan etika
akademis. Keterikatan terhadap etika akademis tercermin pada setiap aspek
kegiatan akademik, seperti perkuliahan, penelitian, penulisan dan publikasi,
penggunaan gelar akademis dan sebagainya.
Dengan demikian
dipandang perlu untuk menjelaskan bagaimana etika akademis diterapkan secara
spesifik dalam berbagai kegiatan akademis maupun kegiatan kampus
lainnya.Tindakan yang melanggar etika akademis merupakan tindakan tidak etis.
Aktivitas yang termasuk dalam kategori tindakan tidak etis dan atau pelanggaran
akademis merupakan perbuatan terlarang, antara lain penyontekan/kecurangan, plagiat,
perjokian, pemalsuan, penyuapan, tindakan-diskriminatif, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi yang terjadinya adalah karena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah. Oleh karena berpikir itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap ini merupakan penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan sebagai manifestasi operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa ilmiah dapat diketahui dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah.
B. Saran
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai Mahasiswa untuk menerapkan etika keilmuan pada kehidupan sehari-hari. Karena fungsi dari ilmu itu sendiri adalah untuk memperkokoh eksistensi manusia bukan sebaliknya
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi yang terjadinya adalah karena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah. Oleh karena berpikir itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap ini merupakan penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan sebagai manifestasi operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa ilmiah dapat diketahui dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah.
B. Saran
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai Mahasiswa untuk menerapkan etika keilmuan pada kehidupan sehari-hari. Karena fungsi dari ilmu itu sendiri adalah untuk memperkokoh eksistensi manusia bukan sebaliknya
DAFTAR
PUSTAKA
Zubair, Achmad Charris.
2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta: LESFI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar