Selasa, 25 Desember 2018

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN KODE ETIK PROFESI KETEKNIK SIPILAN



PERSAMAAN
  1. Memiliki tanggung jawab yang sama di tiap bidangnya.
  2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terkait pengembangan keahlian profesinya.
  3. Saling menghormati dan menghargai antara sesama atasan, sesama bawahan dan sesame atasan dan bawahan.
  4. Mengikuti perkembangan terkait profesi keahliannya dibidang masing-masing.
  5. Memiliki kejujuran, integritas yang tinggi terhadap pekerjaannya.
  6. Menjaga moralitas keprofesian
  7. Memberikan penghargaan terhadap pekerja yang berprestasi di bidangnya.
  8. Tidak mementingkan kepentingan pribadi.
  9. Memiliki loyalitas terhadap profesinya
  10. Disiplin dalam ilmu dan profesi pekerjaan.

PERBEDAAN :
  1. Lebih mementingkan keinginan pekerjaan daripada keinginan masyarakat, alasannya karean ada bidang profesi di teknik sipil yang lebih mementingkan disiplin ilmu daripada pengalaman pekerjanya. Contohnya seperti membangun gedung.
  2. Ada di bidang profesi lain dalam bidang ke teknikan sipil yang harus menjaga kerahasiaan datanya. Seperti di Kode Etik ASOSIASI AHLI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA KONSTRUKSI – INDONESIA (A2K4 – INDONESIA). Pada poin ke-9.
  3. Didalam tiap kode etik ada yang hanya memiliki beberapa poin tanpa memiliki sub poin dan ada pula beberapa etika yang memiliki penjelasan panjang lebar dan merincikannya satu persatu.

Selasa, 11 Desember 2018

PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA


Potensi dan Permasalahan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS)

Dan Wilayah Pesisir

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) membutuhkan keterpaduan dari hulu hingga hilir, sinergitas antar sektor dan lembaga, serta keterlibatan antar stakeholder dari masyarakat, swasta dan pemerintah. Sementara itu, kawasan pesisir merupakan salah satu komponen penting dari hilir sebuah DAS. Pengelolaan kawasan pesisir selama ini masih terpisah dari pengelolaan DAS itu sendiri. Untuk itu, perlu dilakukan keterpaduan perencanaan pengelolaan pesisir dan Daerah Aliran Sungai.
Dengan menggunakan pendekatan ekologi, keruangan (spatial) dan komplek wilayah, buku ini memperkenalkan suatu analisis terpadu untuk pengelolaan DAS dan wilayah pesisir. Sub DAS Kuto, Damar dan Blukar di wilayah Kabupaten Batang dan Kendal dipilih sebagai daerah studi kasus. Buku ini menyajikan analisis pendahuluan dari berbagai aspek yang meliputi kondisi fisik lingkungan, potensi bahaya, sosial ekonomi, kelembagaan dan potensi pariwisata pada kawasan DAS dan pesisir.
Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian yang menjelaskan tentang 1) kondisi fisik di Sub DAS Kuto, Damar dan Blukar (KDB), 2) menjelaskan permasalahan lingkungan di kawasan Sub DAS KDB untuk mengetahui kekritisan DAS, 3) memberikan analisa karakteristik sosial ekonomi dan sinergisme kelembagaan sebagai suatu bentuk pengelolaan DAS terpadu, 4) memberikan gambaran kerentanan, persepsi dan kapasitas masyarakat terhadap bencana alam banjir dan longsor di Sub DAS KDB, serta 5) melakukan inventarisasi potensi dan permasalahan wilayah pesisir.
Sub DAS KDB dipilih sebagai daerah studi, dengan pertimbangan kondisi kekritisan DAS didaerah tersebut dan kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Pembahasan kondisi fisik menjelaskan tentang lingkungan fisik di Sub DAS KDB dan wilayah pesisirnya. Identifikasi permasalahan di lingkungan Sub DAS KDB dibatasi pada pembahasan potensi banjir limpasan, banjir genangan, longsor, erosi dan kerentanan airtanah. Sementara itu, analisis sosial ekonomi dan sinergisme kelembagaan membahas tentang hubungan antara kemiskinan dengan kekritisan DAS, hubungan tingkat kekotaan dengan kekritisan DAS , hubungan tingkkat pendidikan dengan tingkat kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan DAS, pemetaan kelembagaan, sinergisme kelembagaan dan lain sebagainya. Sedangkan pembahasan kerentaan, persepsi dan kapasitas masyarakat difokuskan pada tema bencana banjir dan tanah longsor. Buku ini diakhiri dengan pembahasan mengenai inventarisasi potensi dan permasalahan wilayah pesisir.



PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN



Banjir dan kekeringan merupakan dua kejadian ekstrimitas yang berbeda seperti dua sisi dari satu keping mata uang logam. Kejadian tersebut silih berganti, bahkan diprakirakan tidak akan dapat diatasi dalam jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa besaran banjir dan kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang ditimbulkan terus meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Sedangkan untuk kekeringan, luas sawah yang terkena pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan meningkat tajam pada tahun 2006 dengan luas sawah yang terkena mencapai 267.088 ha (60%). Tahun 1997 merupakan kejadian ekstrim dengan adanya fenomena El-Nino kuat sehingga lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai 517.614 ha.
Sementara di Jawa kondisinya lebih memprihatinkan lagi karena dengan kemampuan memasok 50-55% produksi padi nasional, sebagian besar lahan sawah beririgasi dan tadah hujan yang rawan kekeringan 1. 448 829 ha (42%), rawan banjir 340 698 ha (9%), rawan banjir dan kekeringan 427 894 ha (13%), dan hanya 36% yang tidak rawan. Proporsi ini dipastikan akan terus memburuk karena lahan yang sampai saat ini belum rawan banjir dan kekeringan dapat berubah menjadi rawan banjir, rawan kekeringan atau rawan keduanya. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa banjir dan kekeringan merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan secara bertahap dengan mengerahkan segala sumberdaya dan semua pemangku kepentingan.
Paling tidak ada enam argumen yang mendasari disusunnya buku cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif ini: (i) peningkatan luas wilayah persawahan yang terkena banjir dan kekeringan, dengan dampak penurunan produksi sampai gagal panen (puso) terus meningkat (ii) terjadi banjir dan kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun kondisi iklim normal (iii) transisi dan periode ulang (return period) anomali iklim cenderung acak (randomized), sehingga sangat menyulitkan dalam adaptasi (iv) kekeringan dan banjir berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama (v) dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah dan antar waktu (vi) banjir dan kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya tetapi tidak dapat dihilangkan, sehingga diperlukan pengelolaan terencana dengan semua pemangku kepentingan.
Berdasarkan ilustrasi kompleksitas, dinamika dan dampak masalah banjir dan kekeringan, maka diperlukan pengelolaan partisipatif dengan memberikan hak dan kewajiban yang proporsional terhadap semua pemangku kepentingan dengan menekankan tindakan penyesuaian dan anitisipatif agar risiko yang ditimbulkan dapat direduksi dan diantisipasi lebih dini.
Penyebab Banjir dan Kekeringan serta sebaran Wilayah Banjir dan Kekeringan.
menguraikan tentang Dampak Banjir dan Kekeringan terhadap Produksi Padi. Dampak banjir dan kekeringan menunjukkan kecenderungan peningkatan luas areal terkena dan puso serta Kejadian banjir dan kekeringan yang berulang di tahun yang sama dan lokasi yang sama sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap penurunan produksi pertanian khususnya padi.
menguraikan tentang Kerangka Pikir Pengelolaan Banjir dan Kekeringan. Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional yang difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
Berdasarkan data pemantauan lapangan kejadian banjir dan kekeringan, maka ada tiga faktor dominan penyebab banjir yang harus diperhitungkan yaitu faktor klimatologis, hidrologis dan agronomis. Letak geografis diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis dominan keragaman iklim penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim baik El-Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole Mode (IOD) maupun Median Jullien Oscillation (MJO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila menghangat (El Nino), sebaliknya menyebabkan terjadinya banjir jika pendinginan (La Nina). Pengaruh IOD dibagi menjadi dua, IOD positif menyebabkan penurunan di wilayah Indonesia bagian selatan, sedangkan IOD negatif menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi di wilayah yang sama. Sementara MJO akan berpengaruh pada awal musim hujan yang dimulai dari bagian barat Sumatera bergerak terus ke timur.
Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang mengarah terjadinya perubahan iklim. Tahun 2007 perubahan itu antara lain dicirikan terjadinya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun (), sehingga pola curah hujan berubah dari mono modal menjadi bimodal. Dampak negatif terhadap sektor pertanian yang paling signifikan adalah bergesernya awal musim hujan dengan banjirnya dan kemarau dengan kekeringannya. Implikasi langsungnya adalah kacaunya pola tanam, perubahan durasi musim dan intensitasnya. Perubahan iklim ini diperburuk dengan terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga mengganggu neraca air hidrologis. Implikasinya, terjadinya kelebihan air pada musim hujan dan atau kekurangan air pada musim kemarau, sehingga menyebabkan banjir dan atau kekeringan di lahan pertanian, kerusakan pertanaman padi, menurunnya produksi bahkan di beberapa wilayah mengalami puso.
Secara ilmiah, variabilitas iklim antar wilayah dan waktu akibat anomali dan atau perubahan iklim tidak dapat dikendalikan. Antisipasi melalui pendekatan adaptasi yang paling operasional adalah pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis yang selama ini belum optimal dilakukan petani. Berdasarkan pelajaran dan pengalaman kejadian banjir dan kekeringan sebelumnya, maka sudah selayaknya sektor pertanian dirancang lebih bersahabat dengan fenomena tersebut melalui adaptasi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan peningkatan kemampuan sumber daya petani, diharapkan petani akan lebih menyadari dan lebih disiplin dalam mentaati jadwal tanam yang ketat dan pilihan komoditas yang tepat.

BANJIR DAN KEKERINGAN

A. Pengertian Banjir dan Kekeringan
Banjir adalah tergenangnya lahan pertanian selama periode genangan dengan kedalaman tertentu, sehingga menurunkan produksi pertanian. Sedangkan kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air mendukung proses produksi pertanian secara optimal, sehingga menurunkan produksi pertanian.
B. Penyebab Banjir dan Kekeringan
Secara faktual faktor determinan penyebab banjir dan kekeringan adalah kondisi iklim ekstrim, terganggunya keseimbangan hidrologis, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya. Besaran banjir dan kekeringan sangat ditentukan jumlah, intensitas faktor penyebab serta durasi terjadinya.
Penyimpangan iklim akibat ENSO, IOD dan MJO menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari ekstrimitas tinggi ke rendah atau sebaliknya, sehingga menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat menentukan besaran faktor klimatologis yang terjadi.
Kekeringan dan banjir juga dipengaruhi faktor hidrologis yang diindikasikan dari perbedaan debit sungai maksimum dan minimum. Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air (impermeable). Menurut data Departemen Kehutanan, dari 470 DAS di Indonesia, 62 DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan kekeringan. Sesuai dengan kesepakatan tiga menteri (Menteri PU, Kehutanan, dan Pertanian) tanggal 9 Mei 2007 di Bogor, maka dalam rangka penyelamatan sumber daya air, DAS-DAS kritis tersebut menjadi prioritas penanganan antar sektor (DAS kritis prioritas terlampir). Produksi sedimen yang tinggi akan mendangkalkan waduk, sungai dan saluran, sehingga menurunkan kinerja layanan irigasi. Laju kerusakan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rehabilitasinya, menyebabkan masalah banjir dan kekeringan di wilayah hilir semakin besar.
Lahan pertanian terutama di daerah hilir yang sumber airnya dari bendung atau bendungan (bangunan penangkap air di sungai) kinerjanya sangat dipengaruhi kerusakan hidrologis akibat menurunnya kapasitas tampung saluran dan pasokan air secara signifikan. Kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam. Terjadinya curah hujan ekstrim tinggi menyebabkan airnya melimpas sehingga terjadilah banjir. Sebaliknya, rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga merupakan pemicu terjadinya kekeringan.
Kerusakan hidrologis juga menyebabkan aliran air sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. Data dari Departemen PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk yang terhimpun kedalam 89 Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah sungai induk tersebut, 600 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan banjir, 62 diantaranya tergolong kritis dan super kritis.
Penentuan jadwal tanam dan pemilihan jenis komoditas tanpa memperhitungkan ketersediaan air merupakan penyebab terjadinya kekeringan agronomis. Fenomena ini banyak dijumpai pada lahan sawah irigasi golongan III ke atas, lahan-lahan tadah hujan ataupun areal gadu liar. Dampak negatif yang paling ekstrim akibat gadu liar adalah puso. Kekeringan agronomis umumnya terjadi akibat kebiasaan (habit) petani yang memilih memaksakan menanam padi walaupun ketersediaan airnya tidak mencukupi. Diperlukan bimbingan dan penyuluhan intensif, percontohan penyesuaian dan pengawalan pola tanam yang tepat, pembukaan peluang pasar komoditas alternatif, serta pemberdayaan petani untuk mengurangi beban kerugian yang dialami.



C. Wilayah Banjir dan Kekeringan

Wilayah banjir dan kekeringan sebagian besar berada di daerah aliran sungai yang kondisi hidrologisnya mengalami kerusakan. Wilayah banjir umumnya tersebar di : Dataran rendah dan berdrainase buruk, Sepanjang wilayah sungai terutama dataran banjir (flood plain) dan Daerah pantaiWilayah kekeringan umumnya tersebar di :
Areal pertanian tadah hujan,Daerah irigasi golongan 3,Daerah gadu liar, Daerah endemik kekeringan

KERANGKA PIKIR PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN

Sampai saat ini data, peta dan informasi tabular, spasial dan temporal tentang banjir dan kekeringan masih dikumpulkan dan disimpan di berbagai instansi Pemerintah seperti Departemen Pekerjaan Umum, Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional maupun swasta. Fragmentasi data dan informasi banjir dan kekeringan ini sangat menyulitkan dalam identifikasi dan karakterisasi, representasi dan rekonstruksi faktor penyebab, risiko dan model pengelolaannya. Dampaknya, penanganan banjir dan kekeringan lebih banyak dilakukan secara ad hock, partial, sesaat berdasarkan tugas pokok fungsi instansi dan interes prioritasnya. Rendahnya sinergi ini menyebabkan masalah banjir dan kekeringan sampai saat ini tidak dapat diturunkan besarannya sekalipun biaya yang dibelanjakan pemerintah (goverment expenditure) terus meningkat. Diperlukan kerangka pikir dengan pendekatan menyeluruh terhadap fakta empirik banjir dan kekeringan agar dapat memosisikan tugas, tanggung jawab dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan banjir dan kekeringan
Berdasarkan kerangka pikir hubungan timbal balik antara faktor penyebab, akibat dan upaya, maka tahapan dan kegiatan utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat direpresentasikan. Informasi ini selanjutnya harus disosialisasikan kepada semua pemangku kepetingan untuk disepakati, dilaksanakan dan diawasi bersama. Pemerintah perlu membuka kesempatan yang proporsional terhadap semua pihak untuk sharing (pengetahuan, pengalaman dan sumberdaya) serta berpartisipasi aktif agar masalah banjir dan kekeringan dapat diselesaikan sampai akarnya.
Pengelolaan banjir dan kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan operasional. Cetak biru ini difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.

A. Prioritas Pengelolaan

Sedangkan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan berdasarkan kombinasi dari tiga pendekatan: klimatologis, hidrologis, dan agronomis, dengan memperhitungkan tingkat kemudahan dan pembiayaannya. Penetapan prioritas dilakukan secara partisipatif oleh pemangku kepentingan, petani dan petugas lapangan.
Prioritas I:
Klimatologis: Wilayah yang sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan berat atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir dan kekeringan
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas II :
Klimatologis : Wilayah yang rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan sedang atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas III :
Klimatologis: Wilayah yang agak rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan ringan atau penyebab lainnya sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra produksi padi.







B.Langkah Penanganan

Secara sistematis langkah penanganan pengelolaan banjir dan kekeringan memuat dua strategi yaitu strategi umum dan dan strategi khusus.
1. Strategi Umum
Masing masing daerah menyusun pola tanam yang lebih ditail berdasarkan masukan seluruh pemangku kepentingan dengan memperhitungkan prakiraan iklim, keandalan debit, jenis komoditas yang diusahakan, dan aspek lainnya. Selanjutnya pola tanam tersebut dievaluasi secara reguler 2 (dua) mingguan agar dapat disesuaikan network planningnya dan diketahui periode kritisnya. Untuk itu diperlukan data dan informasi peramalan iklim yang semakin akurat, penyuluh yang giat di lapangan, penyusunan pola tanam dan jenis komoditas yang ketat serta perilaku petani yang taat terhadap kesepakatan yang telah dibuat bersama, contoh network diagram planning optimalisasi lahan sawah teknis pada Lampiran.
2. Strategi Khusus
Masing masing wilayah banjir dan atau kekeringan, kelompok tani/P3A beserta petugas Dinas pertanian dan Dinas Pengairan setempat harus melakukan work through di wilayah kerja masing masing sebelum tanam untuk melakukan pengecekan kembali kesiapan saluran dalam mendukung pelaksanaan pola tanam.
Membangun jaringan tingkat usaha tani dan atau jaringan tata air mikro di setiap lokasi untuk perbaiki efisiensi ketersediaan air
Untuk daerah yang mengalami banjir dan kekeringan introduksi tanaman yang tahan genangan dan atau kekurangan air perlu dilakukan sambil menunggu perbaikan DAS hulu dan perbaikan infrastruktur penanggulangan banjir dan kekeringan.
Ditail langkah penanganan banjir dan kekeringan dapat dilakukan berdasarkan menu pilihan yang tersedia dengan menyesuaikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi setempat. Pilihan menu jangka pendek, menengah dan panjang disajikan sebagai berikut:
Jangka pendek
1) Klimatologis
Peningkatan kemampuan prakiraan iklim dan pengamatan perubahan iklim Sosialisasi/diseminasi hasil prakiraan iklim Pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan



2) Hidrologis
Mencari sumber air alternatif atau membuat sumur Rehabilitasi dan pemeliharaan Jaringan irigasi dan drainase Pengembangan bangunan konservasi air irigasi partisipatif;Pemanfaatanpompa air (pompanisasi) dengan energi angin
Pengembangan usahatani konservasi, reklamasi dan optimasi lahan
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak (terlampir peta potensi rawa lebak) Pengembangan SRI/PTT/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan Sekolah Lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi Peningkatan kinerja posko & pokja iklim (pusat & daerah)Jangka Menengah

1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklimMengoptimalkan sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim Evaluasi dan pembaharuan (up dating) peta wilayah rawan banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Membangun jaringan drainase dan irigasi Rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan drainase/irigasi Pengembangan irigasi partisipatif; Pengembangan bangunan konservasi air Pengembangan pompanisasi Konservasi das hulu Pengembangan usahatani konservasi Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (gnkpa) Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat serta pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air.


4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air. Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air. Pelatihan petugas lapangan lanjutan Jangka Panjang
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim. Pemanfaatan dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Pembaharuan (up dating) database spasial dan analisa spasial peta wilayah rawan banjir dan kekeringan Sosialisasi/desiminasi hasil prakiraan iklim
2) Hidrologis
Pembangunan dan pemeliharaan jaringan drainase Pembuangan kelebihan air melalui pompanisasi Pengembangan bangunan konservasi air Pengembangan irigasi partisipatif Konservasi das hulu Pengembangan usahatani konservasi Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air (GNKPA) Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat dan pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan sekolah lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama terpadu dan SL hemat air Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan teknologi pengelolaan air
Pelatihan petugas lapangan

METODE PENYUSUNAN

Penyusunan peta banjir dan kekeringan partisipatif ini dilakukan melalui diskusi antar pemangku kepentingan untuk menghimpun data dan informasi serta bahan masukan pengambilan keputusan. Instansi yang berpartsipasi aktif dalam penyusunan awal meliputi: Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan, Badan Meteorologi dan Geofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. Berdasarkan hasil beberapa kali diskusi, maka disepakati metode penyusunan peta pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif yang meliputi: (i) desk work untuk mempersiapkan peta rawan banjir dan kekeringan, rawan kekeringan dan rawan banjir dan penentuan kabupaten prioritas (ii) validasi lapangan bersama instansi terkait di kabupaten prioritas (iii) pemutakhiran (up dating) peta rawan banjir dan kekeringan dan naskahnya (iv) finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan sekaligus presentasi final di depan Menteri terkait (v) sosialisasi hasil cetak biru ke masyarakat dan implementasi lapangan. Rencana ditail jadual waktu penyusunan cetak biru sampai dengan sosialisasinya disajikan pada Gambar Lampiran 1.
Berkaitan dengan butir (i), maka ditetapkan pada tahap pertama penyusunan peta rawan banjir dan kekeringan akan diselesaikan naskah utama dan naskah metode penyusunan wilayah rawan banjir dan kekeringan untuk pulau Jawa (Buku I) dengan pertimbangan karena jawa mensuplai 50% produksi pangan nasional, wilayahnya paling banyak terkena banjir dan kekeringan. Selanjutnya secara bertahap akan diselesaikan Nusa Tenggara (NTB dan NTT) (Buku II), Pulau Sumatra (Buku III), Pulau Kalimantan (Buku IVI), Sulawesi (Buku V), Bali dan (VI) serta Maluku dan Papua (Buku VII).
Paling tidak diperlukan lima elemen dasar untuk menyusun peta rawan banjir dan kekeringan yaitu (1) peta lahan sawah (2) peta daerah rawan banjir dan (3) peta daerah rawan kekeringan (4) peta daerah irigasi dan (5) peta administrasi level kecamatan. Superimpose/overlay kelima peta yang ada menghasilkan tematik rawan banjir dan kekeringan, rawan banjir, rawan kekeringan dan wilayah sawah yang belum rawan pada tingkat kecamatan.
Untuk menvalidasi peta rawan banjir dan kekeringan yang dihasilkan melalui desk work, maka peta-peta yang dihasilkan divalidasi ke lapangan bersama instansi terkait pusat, propinsi maupun kabupaten. Kegiatan validasi ke lapangan dipilih berdasarkan data sebaran luas wilayah yang terkena banjir dan atau kekeringan serta besaran dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil diskusi dengan instansi terkait, maka disepakati ada 12 Kabupaten di 3 Propinsi Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ditail ke 12 kabupaten tersebut adalah sebagai berikut:
Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Karawang, Indramayu, Cirebon dan Cianjur)
Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Grobogan, Sragen, Pati, Rembang dan Blora)
Propinsi Jawa Timur (Kabupaten Gresik, Lamongan dan Bojonegoro)
Selanjutnya propinsi terkait diminta untuk dapat melakukan validasi kabupaten/kota rawan banjir dan kekeringan dengan menggunakan metode yang sama saat melakukan validasi ke 12 kabupaten prioritas.Finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan dengan mengundang instansi terkait dalam jumlah yang lebih banyak untuk menghimpun masukan akhir sebelum dilakukan cetak final. Pendekatan partisipatif ini dimaksudkan agar hasil cetak biru menjadi milik bersama (common properties), sehingga merasa mempunyai kewajiban yang sama dalam menyusekseskan implementasi pengelolaan banjir dan kekeringan.
Untuk memperoleh masukan dan dukungan pengambil keputusan sektoral, maka akan dilakukan ekspose dengan mengundang Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait untuk memperoleh dukungan kebijakan dan pendanaan yang konsisten.
Setelah diperoleh dukungan pengambil kebijakan tertinggi sektoral dan lembaga pemerintah non departemen, maka sosialisasi dilakukan terhadap masyarakat luas sebagai pemangku kepentingan pertama dan utama. Peta, data dan informasi tentang wilayah rawan banjir dan kekeringan serta prioritas pengelolaannya disosialisasikan kepada petani dan seluruh pemangku kepentingan di kabupaten/kecamatan rawan banjir dan kekeringan untuk memperoleh masukan dan kesepakatan serta dukungan dalam implementasinya. Masyarakat termasuk petani perlu diberikan kesempatan luas untuk mengelola banjir dan kekeringan sesuai hasil musyawarah. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan dinamisator, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi pelaku utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan. Melalui pendekatan partisipatif ini, maka pemerintah dapat menggunakan succes story dari pilot project pengelolaan banjir dan kekeringan untuk diadopsi, dimodifikasi dan dikembangkan di daerah lain.Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat dilakukan melalui: (i) penentuan prioritas pengelolaan (ii) identifikasi faktor penyebab (iii) pemilihan model pengelolaan banjir dan kekeringan yang partisipatif.

PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN LAPANGAN
Pengelolaan wilayah banjir dan kekeringan per kecamatan secara umum dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
A. Prioritas I, yaitu kecamatan yang sawahnya mengalami banjir dan juga kekeringan pada lokasi yang sama.
Daerah tersebut perlu mendapatkan penanganan pertama mengingat dampak ekonomi dan sosialnya relatif lebih besar jika dibandingkan dengan lainnya. Pada daerah-daerah tersebut termasuk daerah yang Sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim.
Daerah tersebut umumnya terjadi di bagian hilir daerah irigasi (golongan 4, 5 dst), daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah sawah tadah hujan yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah dangkal)


B. Prioritas II, yaitu kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih besar atau sama dengan areal yang aman.Daerah tersebut bisa terjadi di bagian tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi.
C. Prioritas III, yaitu kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih kecil dari areal yang aman.Daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang.Pengelolaan banjir dan kekeringan tersebut dilakukan melalui keterpaduan pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis dalam program jangka pendek, menengah dan panjang.
Selanjutnya aplikasi lapangan pengelolaan banjir dan kekeringan dalam bentuk jadual tanam yang ketat yang didukung penyuluh yang giat, dengan komoditas tepat dan petani taat disajikan dalam bentuk rencana jejaring kerja (network planing)


KUALITAS SUMBER AIR


KUALITAS SUMBER AIR
          Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu. Sedangkan kuantitas menyangkut jumlah air yang dibutuhkan manusia dalam kegiatan tertentu. Air adalah materi esensial didalam kehidupan, tidak ada satupun makhluk hidup di dunia ini yang tidak membutuhkan air. Sebagian besar tubuh manusia itu sendiri terdiri dari air. Tubuh manusia rata-rata mengandung air sebanyak 90 % dari berat badannya. Tubuh orang dewasa, sekitar 55-60%, berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80% . Air bersih dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk melakukan segala kegiatan mereka. Sehingga perlu diketahui bagaimana air dikatakan bersih dari segi kualitas dan bisa digunakan dalam jumlah yang memadai dalam kegiatan sehari-hari manusia. Ditinjau dari segi kualitas, ada bebarapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya kualitas fisik yang terdiri atas bau, warna dan rasa, kulitas kimia yang terdiri atas pH, kesadahan, dan sebagainya serta kualitas biologi diman air terbebas dari mikroorganisme penyebab penyakit. Agar kelangsungan hidup manusia dapat berjalan lancar, air bersih juga harus tersedia dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktifitas manusia pada tempat tertentu dan kurun waktu tertentu.
Air sebagai materi esensial dalam kehidupan tampak dari kebutuhan terhadap air untuk keperluan sehari-hari di lingkungan rumah tangga ternyata berbeda-beda di setiap tempat, setiap tingkatan kehidupan atau setiap bangsa dan negara. Semakin tinggi taraf kehidupan seseorang semakin meningkat pula kebutuhan manusia akan air. Jumlahpenduduk dunia setiap hari bertambah, sehingga mengakibatkan jumlah kebutuhan air (Suriawiria,1996: 3).
          Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/menkes/sk/xi/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan industri terdapat pengertian mengenai Air Bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapatdiminum apabila dimasak.
Bagi manusia kebutuhan akan air sangat mutlak karena sebenarnya zat pembentuk tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air yang jumlahnya sekitar 73% dari bagian tubuh. Air di dalam tubuh manusia berfungsi sebagai pengangkut dan pelarut bahan-bahan makanan yang penting bagi tubuh. Sehingga untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya manusia berupaya mendapatkan air yang cukup bagi dirinya (Suharyono, 1996). Dalam menjalankan fungsi kehidupan sehari-hari manusia amat tergantung pada air, karena air dipergunakan pula untuk mencuci, membersihkan peralatan, mandi, dan lain sebagainya. Manfaat lain dari air berupa pembangkit tenaga, irigasi, alat transportasi, dan lain sebagainya yang sejenis dengan ini. Semakin maju tingkat kebudayaan masyarakat maka penggunaan air makin meningkat.
          Kebutuhan air yang paling utama bagi manusia adalah air minum. Menurut ilmu kesehatan setiap orang memerlukan air minum hidup 2-3 minggu tanpa makan tetapi hanya dapat bertahan 2-3 hari tanpa air minum (Suripin, 2002).  
Air merupakan faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan vital bagi mahluk hidup diantaranya sebagai air minum atau keperluan rumah tangga lainnya. Air yang digunakan harus bebas dari kuman penyakit dan tidak mengandung bahan beracun. Sumber air minum yang memenuhi syarat sebagai air baku air minum jumlahnya makin lama makin berkurang sebagai akibat ulah manusia sendiri baik sengaja maupun tidak disengaja.
Upaya pemenuhan kebutuhan air oleh manusia dapat mengambil air dari dalam tanah, air permukaan, atau langsung dari air hujan. Dari ke tiga sumber air tersebut, air tanah yang paling banyak digunakan karena air tanah memiliki beberapa kelebihan di banding sumber-sumber lainnya antara lain karena kualitas airnya yang lebih baik serta pengaruh akibat pencemaran yang relatif kecil.
          Akan tetapi  air yang dipergunakan tidak selalu sesuai dengan syarat kesehatan, karena sering ditemui air tersebut mengandung bibit ataupun zat-zat tertentu yang dapat menimbulkan penyakit yang justru membahayakan kelangsungan hidup manusia.  
Berdasarkan masalah di atas, maka perlu diketahui kualitas air yang bisa digunakan untuk kebutuhan manusia tanpa menyebabkan akibat buruk dari penggunaan air tersebut. Kebutuhan air bagi manusia harus terpenuhi baik secara kualitas maupun kuantitasnya agar manusia mampu hidup dan menjalankan segala kegiatan dalam kehidupannya.
          Ditinjau Dari Segi Kualitas (Mutu) Air Secara langsung atau tidak langsung pencemaran akan berpengaruh terhadap kualitas air. Sesuai dengan dasar pertimbangan penetapan kualitas air minum, usaha pengelolaan terhadap air yang digunakan oleh manusia sebagai air minum berpedoman pada standar kualitas air terutama dalam penilaian terhadap produk air minum yang dihasilkannya, maupun dalam merencanakan
sistem dan proses yang akan dilakukan terhadap sumber daya air (Razif, 2001:4).
Persyaratan Kualitas Air
Parameter Kualitas Air yang digunakan untuk kebutuhan manusia haruslah air yang tidak tercemar atau memenuhi persyaratan fisika, kimia, dan biologis. Air yang berkualitas harus memenuhi persyaratan  fisika sebagai berikut:
1.             Jernih atau tidak keruh
Air yang keruh disebabkan oleh adanya butiran-butiran koloid dari tanah liat. Semakin banyak kandungan koloid maka air semakin keruh.
2.             Tidak berwarna
Air untuk keperluan rumah tangga harus jernih. Air yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan.
3.             Rasanya tawar
Secara fisika, air bisa dirasakan oleh lidah. Air yang terasa asam, manis, pahit atau asin menunjukan air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya garam-garam tertentu  yang larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam organik maupun asam anorganik.
4.             Tidak berbau
Air yang baik memiliki ciri tidak berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat. Air yang berbau busuk mengandung bahan organik yang sedang mengalami dekomposisi (penguraian) oleh mikroorganisme air.
5.             Temperaturnya normal
Suhu air sebaiknya sejuk atau tidak panas terutama agar tidak terjadi pelarutan zat kimia yang ada pada saluran/pipa, yang dapat membahayakan kesehatan dan menghambat pertumbuhan mikro organisme.
6.             Tidak mengandung zat padatan
          Kualitas air yang digunakan masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan agar dapat terhindar dari berbagai penyakit maupun gangguang kesehatan yang dapat disebabkan oleh air. Untuk mengetahui kualitas air tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium yang mencakup antara lain pemeriksaan bakteriologi air, meliputi Most Probable Number  (MPN) dan angka kuman.  Pemeriksaan MPN dilakukan untuk pemeriksaan kualitas air minum, air bersih, air badan, air pemandian umum, air kolam renang dan pemeriksaan angka kuman pada air PDAM.
          Khusus untuk air minum, disyaratkan bahwa tidak mengandung bakteri patogen, misalnya bakteri golongan E. coli, Salmonella typhi, Vibrio cholera. Kuman-kuman ini mudah tersebar melalui air (Transmitted by water) dan tidak mengandung bakteri non-patogen, seperti Actinomycetes dan Cladocera (Soewarno. 2002).
          Bagi manusia air minum adalah salah satu kebutuhan utama. Mengingat bahwa berbagai penyakit dapat dibawah oleh air kepada manusia memanfaatkannya, maka tujuan utama penyediaan air bersih/air minum bagi masyarakat adalah untuk mencegah penyakit yang dibawah oleh air. Penyediaan air bersih selain kuantitas kualitasnya pun harus memenuhi standar yang berlaku. Air minum yang memenuhi baik kuantitas maupun kualitas sangat membantu menurunkan angka kesakitan penyakit perut terutama penyakit diare. Sehingga pengawasan terhadap kualitas air minum agar tetap memenuhi syarat-syarat kesehatan berdasarkan Kepmenkes RI No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum (Depkes, 2002)

KUANTITAS SUMBER AIR
          Ditinjau dari jumlah atau kuantitas air yang dibuthkan manusia, kebutuhan dasar air bersih adalah jumlah air bersih minimal yang perlu disediakan agar manusia dapat hidup secara layak yaitu dapat memperoleh air yang diperlukan untuk melakukan aktivitas dasar sehari-hari (Sunjaya dalam Karsidi, 1999 : 18). Ditinjau dari segi kuantitasnya, kebutuhan air rumah tangga menurut Sunjaya adalah:
·           Kebutuhan air untuk minum dan mengolah makanan 5 liter / orang perhari.
·           Kebutuhan air untuk higien yaitu untuk mandi dan membersihkan dirinya 25 – 30 liter / orang perhari.
·           Kebutuhan air untuk mencuci pakaian dan peralatan 25 – 30 liter / orang perhari.
·           Kebutuhan air untuk menunjang pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas sanitasi atau pembuangan kotoran 4 – 6 liter / orang perhari, sehingga total pemakaian perorang adalah 60 – 70 liter / hari di kota. Banyaknya pemakaian air tiap harinya untuk setiap rumah tangga berlainan, selain pemakaian air tiap harinya tidak tetap banyak keperluan air bagi tiap orang atau setiap rumah tangga itu masih tergantung dari beberapa faktor diantaranya adalah pemakaian air di daerah panas akan lebih banyak dari pada di daerah dingin, kebiasaan hidup dalam rumah tangga misalnya ingin rumah dalam keadaan bersih selalu dengan mengepel lantai dan menyiram halaman, keadaan sosial rumah tangga semakin mampu atau semakin tinggi tingkat sosial kehidupannya semakin banyak menggunakan air serta pemakaian air dimusim panas akan lebih banyak dari pada dimusim hujan.

          Sumber air merupakan salah satu komponen utama yang ada pada suatu sistem penyediaan air bersih, karena tanpa sumber air maka suatu system penyediaan air bersih tidak akan berfungsi (Sutrisno, 2000 : 13). Macam-macam sumber air yang dapat di manfaatkan sebagai sumber air minum sebagai berikut :
1.         Air laut
Mempunyai sifat asin, karena mengandung garam NaCl.Kadar garam NaCl dalam air laut 3 % dengan keadaan ini maka air laut tidak memenuhi syarat untuk diminum.
2.         Air Atmosfer
Untuk menjadikan air hujan sebagai air minum hendaknya pada waktu menampung air hujan mulai turun, karena masih mengandung banyak kotoran. Selain itu air hujan mempunyai sifat agresif terutama terhadap pipa-pipa penyalur maupun bak-bak reservoir, sehingga hal ini akan mempercepat terjadinya korosi atau karatan. Juga air ini mempunyai sifat lunak, sehingga akan boros terhadap pemakaian sabun.
3.         Air Permukaan
Adalah air hujan yang mengalir di permukaan bumi. Pada umumnya air permukaan ini akan mendapat pengotoran selama pengalirannya, misalnya oleh lumpur, batang-batang kayu, daun-daun, kotoran industri dan lainnya. Air permukaan ada dua macam yaitu air sungai dan air rawa. Air sungai digunakan sebagai air minum, seharusnya melalui pengolahan yang sempurna, mengingat bahwa air sungai ini pada umumnya mempunyai derajat pengotoran yang tinggi. Debit yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan akan air minum pada umumnya dapat mencukupi. Air rawa kebanyakan berwarna disebabkan oleh adanya zat-zat organik yang telah membusuk, yang menyebabkan warna kuning coklat, sehingga untuk pengambilan air sebaiknya dilakukan pada kedalaman tertentu di tengah-tengah.
4.         Air tanah
Air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan tanah didalam zone jenuh dimana tekanan hidrostatiknya sama atau lebih besar dari tekanan atmosfer (Suyono,1993 :1).
5.         Mata air
Yaitu air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan tanah dalam hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitas atau kuantitasnya sama dengan air dalam.
Sistem penyediaan air bersih meliputi besarnya komponen pokok antara lain: unit sumber baku, unit pengolahan, unit produksi, unit transmisi, unit distribusi dan unit konsumsi, yaitu
·           Unit sumber air baku merupakan awal dari sistem penyediaan air bersih yang mana pada unit ini sebagai penyediaan air baku yang bisa diambil dari air tanah, air permukaan, air hujan yang jumlahnya sesuai dengan yang diperlukan.
·           Unit pengolahan air memegang peranan penting dalam upaya memenuhi kualitas air bersih atau minum, dengan pengolahan fisika, kimia, dan bakteriologi, kualitas air baku yang semula belum memenuhi syarat kesehatan akan berubah menjadi air bersih atau minum yang aman bagi manusia.
·           Unit produksi adalah salah satu dari sistem penyediaan air bersih yang menentukan jumlah produksi air bersih atau minum yang layak didistribusikan ke beberapa tandon atau reservoir dengan sistem pengaliran gravitasi atau pompanisasi.
·           Unit produksi merupakan unit bangunan yang mengolah jenis-jenis sumber air menjadi air bersih.