Banjir dan kekeringan
merupakan dua kejadian ekstrimitas yang berbeda seperti dua sisi dari satu
keping mata uang logam. Kejadian tersebut silih berganti, bahkan diprakirakan
tidak akan dapat diatasi dalam jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir
menunjukkan bahwa besaran banjir dan kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang ditimbulkan terus meningkat.
Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang terkena banjir seluas 58.197 ha,
sementara tahun 2006 yang terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Sedangkan
untuk kekeringan, luas sawah yang terkena pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan
meningkat tajam pada tahun 2006 dengan luas sawah yang terkena mencapai 267.088
ha (60%). Tahun 1997 merupakan kejadian ekstrim dengan adanya fenomena El-Nino
kuat sehingga lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai 517.614 ha.
Sementara di Jawa
kondisinya lebih memprihatinkan lagi karena dengan kemampuan memasok 50-55%
produksi padi nasional, sebagian besar lahan sawah beririgasi dan tadah hujan
yang rawan kekeringan 1. 448 829 ha (42%), rawan banjir 340 698 ha (9%), rawan
banjir dan kekeringan 427 894 ha (13%), dan hanya 36% yang tidak rawan.
Proporsi ini dipastikan akan terus memburuk karena lahan yang sampai saat ini
belum rawan banjir dan kekeringan dapat berubah menjadi rawan banjir, rawan
kekeringan atau rawan keduanya. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa banjir dan
kekeringan merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan secara bertahap
dengan mengerahkan segala sumberdaya dan semua pemangku kepentingan.
Paling tidak ada enam argumen yang mendasari
disusunnya buku cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif ini:
(i) peningkatan luas wilayah persawahan yang terkena banjir dan kekeringan, dengan
dampak penurunan produksi sampai gagal panen (puso) terus meningkat (ii)
terjadi banjir dan kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim
maupun kondisi iklim normal (iii) transisi dan periode ulang (return period)
anomali iklim cenderung acak (randomized), sehingga sangat menyulitkan dalam
adaptasi (iv) kekeringan dan banjir berulang pada tahun yang sama di lokasi
yang sama (v) dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah dan antar waktu
(vi) banjir dan kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya tetapi tidak dapat
dihilangkan, sehingga diperlukan pengelolaan terencana dengan semua pemangku
kepentingan.
Berdasarkan ilustrasi
kompleksitas, dinamika dan dampak masalah banjir dan kekeringan, maka
diperlukan pengelolaan partisipatif dengan memberikan hak dan kewajiban yang
proporsional terhadap semua pemangku kepentingan dengan menekankan tindakan
penyesuaian dan anitisipatif agar risiko yang ditimbulkan dapat direduksi dan
diantisipasi lebih dini.
Penyebab Banjir dan Kekeringan serta sebaran
Wilayah Banjir dan Kekeringan.
menguraikan tentang Dampak Banjir dan Kekeringan
terhadap Produksi Padi. Dampak banjir dan kekeringan menunjukkan kecenderungan
peningkatan luas areal terkena dan puso serta Kejadian banjir dan kekeringan
yang berulang di tahun yang sama dan lokasi yang sama sehingga menimbulkan
dampak yang sangat besar terhadap penurunan produksi pertanian khususnya padi.
menguraikan tentang
Kerangka Pikir Pengelolaan Banjir dan Kekeringan. Pengelolaan banjir dan
kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan
operasional yang difokuskan pada ketiga pendekatan yang partisipastif dari
seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah penanganan kerawanan
banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi: penentuan prioritas
pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor penyebab banjir dan
kekeringan serta metode pengelolaannya.
Berdasarkan data
pemantauan lapangan kejadian banjir dan kekeringan, maka ada tiga faktor
dominan penyebab banjir yang harus diperhitungkan yaitu faktor klimatologis,
hidrologis dan agronomis. Letak geografis diantara dua benua, dan dua samudra
serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis
dominan keragaman iklim penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi
geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim
monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim baik El-Nino
Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole Mode (IOD) maupun Median
Jullien Oscillation (MJO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila
menghangat (El Nino), sebaliknya menyebabkan terjadinya banjir jika pendinginan
(La Nina). Pengaruh IOD dibagi menjadi dua, IOD positif menyebabkan penurunan
di wilayah Indonesia bagian selatan, sedangkan IOD negatif menyebabkan
terjadinya curah hujan tinggi di wilayah yang sama. Sementara MJO akan
berpengaruh pada awal musim hujan yang dimulai dari bagian barat Sumatera
bergerak terus ke timur.
Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir
menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang
mengarah terjadinya perubahan iklim. Tahun 2007 perubahan itu antara lain
dicirikan terjadinya dua periode musim kemarau dan musim hujan dalam satu tahun
(), sehingga pola curah hujan berubah dari mono modal menjadi bimodal. Dampak
negatif terhadap sektor pertanian yang paling signifikan adalah bergesernya
awal musim hujan dengan banjirnya dan kemarau dengan kekeringannya. Implikasi
langsungnya adalah kacaunya pola tanam, perubahan durasi musim dan intensitasnya.
Perubahan iklim ini diperburuk dengan terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai
(DAS), sehingga mengganggu neraca air hidrologis. Implikasinya, terjadinya
kelebihan air pada musim hujan dan atau kekurangan air pada musim kemarau,
sehingga menyebabkan banjir dan atau kekeringan di lahan pertanian, kerusakan
pertanaman padi, menurunnya produksi bahkan di beberapa wilayah mengalami puso.
Secara ilmiah, variabilitas iklim antar wilayah
dan waktu akibat anomali dan atau perubahan iklim tidak dapat dikendalikan.
Antisipasi melalui pendekatan adaptasi yang paling operasional adalah
pendekatan klimatologis, hidrologis dan agronomis yang selama ini belum optimal
dilakukan petani. Berdasarkan pelajaran dan pengalaman kejadian banjir dan
kekeringan sebelumnya, maka sudah selayaknya sektor pertanian dirancang lebih
bersahabat dengan fenomena tersebut melalui adaptasi jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang. Dengan peningkatan kemampuan sumber daya petani,
diharapkan petani akan lebih menyadari dan lebih disiplin dalam mentaati jadwal
tanam yang ketat dan pilihan komoditas yang tepat.
BANJIR DAN KEKERINGAN
A. Pengertian Banjir dan Kekeringan
Banjir adalah tergenangnya lahan pertanian selama
periode genangan dengan kedalaman tertentu, sehingga menurunkan produksi
pertanian. Sedangkan kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air
mendukung proses produksi pertanian secara optimal, sehingga menurunkan produksi
pertanian.
B. Penyebab Banjir dan Kekeringan
Secara faktual faktor
determinan penyebab banjir dan kekeringan adalah kondisi iklim ekstrim,
terganggunya keseimbangan hidrologis, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai
peruntukannya. Besaran banjir dan kekeringan sangat ditentukan jumlah,
intensitas faktor penyebab serta durasi terjadinya.
Penyimpangan iklim akibat ENSO, IOD dan MJO
menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari
ekstrimitas tinggi ke rendah atau sebaliknya, sehingga menyebabkan penyimpangan
iklim terhadap kondisi normalnya. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat
menentukan besaran faktor klimatologis yang terjadi.
Kekeringan dan banjir juga dipengaruhi faktor
hidrologis yang diindikasikan dari perbedaan debit sungai maksimum dan minimum.
Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai
(DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi
lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air
(impermeable). Menurut data Departemen Kehutanan, dari 470 DAS di Indonesia, 62
DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan kekeringan.
Sesuai dengan kesepakatan tiga menteri (Menteri PU, Kehutanan, dan Pertanian)
tanggal 9 Mei 2007 di Bogor, maka dalam rangka penyelamatan sumber daya air,
DAS-DAS kritis tersebut menjadi prioritas penanganan antar sektor (DAS kritis
prioritas terlampir). Produksi sedimen yang tinggi akan mendangkalkan waduk,
sungai dan saluran, sehingga menurunkan kinerja layanan irigasi. Laju kerusakan
yang jauh lebih tinggi dibandingkan rehabilitasinya, menyebabkan masalah banjir
dan kekeringan di wilayah hilir semakin besar.
Lahan pertanian terutama
di daerah hilir yang sumber airnya dari bendung atau bendungan (bangunan
penangkap air di sungai) kinerjanya sangat dipengaruhi kerusakan hidrologis
akibat menurunnya kapasitas tampung saluran dan pasokan air secara signifikan.
Kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan
saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam.
Terjadinya curah hujan ekstrim tinggi menyebabkan airnya melimpas sehingga
terjadilah banjir. Sebaliknya, rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada
musim penghujan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga
merupakan pemicu terjadinya kekeringan.
Kerusakan hidrologis juga
menyebabkan aliran air sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama
sekali. Data dari Departemen PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk
yang terhimpun kedalam 89 Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah sungai
induk tersebut, 600 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan banjir, 62
diantaranya tergolong kritis dan super kritis.
Penentuan jadwal tanam
dan pemilihan jenis komoditas tanpa memperhitungkan ketersediaan air merupakan
penyebab terjadinya kekeringan agronomis. Fenomena ini banyak dijumpai pada
lahan sawah irigasi golongan III ke atas, lahan-lahan tadah hujan ataupun areal
gadu liar. Dampak negatif yang paling ekstrim akibat gadu liar adalah puso.
Kekeringan agronomis umumnya terjadi akibat kebiasaan (habit) petani yang
memilih memaksakan menanam padi walaupun ketersediaan airnya tidak mencukupi.
Diperlukan bimbingan dan penyuluhan intensif, percontohan penyesuaian dan
pengawalan pola tanam yang tepat, pembukaan peluang pasar komoditas alternatif,
serta pemberdayaan petani untuk mengurangi beban kerugian yang dialami.
C. Wilayah Banjir dan Kekeringan
Wilayah banjir dan kekeringan sebagian besar berada di daerah aliran sungai
yang kondisi hidrologisnya mengalami kerusakan. Wilayah banjir umumnya tersebar
di : Dataran rendah dan berdrainase buruk, Sepanjang wilayah sungai terutama
dataran banjir (flood plain) dan Daerah pantaiWilayah kekeringan umumnya
tersebar di :
Areal pertanian tadah hujan,Daerah irigasi golongan 3,Daerah gadu liar, Daerah
endemik kekeringan
KERANGKA PIKIR PENGELOLAAN BANJIR DAN KEKERINGAN
Sampai saat ini data,
peta dan informasi tabular, spasial dan temporal tentang banjir dan kekeringan
masih dikumpulkan dan disimpan di berbagai instansi Pemerintah seperti
Departemen Pekerjaan Umum, Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana, Departemen
Pertanian, Departemen Kehutanan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen
Dalam Negeri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional maupun swasta.
Fragmentasi data dan informasi banjir dan kekeringan ini sangat menyulitkan dalam
identifikasi dan karakterisasi, representasi dan rekonstruksi faktor penyebab,
risiko dan model pengelolaannya. Dampaknya, penanganan banjir dan kekeringan
lebih banyak dilakukan secara ad hock, partial, sesaat berdasarkan tugas pokok
fungsi instansi dan interes prioritasnya. Rendahnya sinergi ini menyebabkan
masalah banjir dan kekeringan sampai saat ini tidak dapat diturunkan besarannya
sekalipun biaya yang dibelanjakan pemerintah (goverment expenditure) terus
meningkat. Diperlukan kerangka pikir dengan pendekatan menyeluruh terhadap
fakta empirik banjir dan kekeringan agar dapat memosisikan tugas, tanggung
jawab dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan banjir dan
kekeringan
Berdasarkan kerangka
pikir hubungan timbal balik antara faktor penyebab, akibat dan upaya, maka
tahapan dan kegiatan utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan dapat
direpresentasikan. Informasi ini selanjutnya harus disosialisasikan kepada
semua pemangku kepetingan untuk disepakati, dilaksanakan dan diawasi bersama.
Pemerintah perlu membuka kesempatan yang proporsional terhadap semua pihak
untuk sharing (pengetahuan, pengalaman dan sumberdaya) serta berpartisipasi
aktif agar masalah banjir dan kekeringan dapat diselesaikan sampai akarnya.
Pengelolaan banjir dan
kekeringan harus dilakukan melalui pendekatan strategis, antisipatif, dan
operasional. Cetak biru ini difokuskan pada ketiga pendekatan yang
partisipastif dari seluruh pemangku kepentingan berdasarkan prioritas wilayah
penanganan kerawanan banjir dan kekeringan. Pendekatan tersebut meliputi:
penentuan prioritas pengelolaan banjir dan kekeringan, identifikasi faktor
penyebab banjir dan kekeringan serta metode pengelolaannya.
A. Prioritas Pengelolaan
Sedangkan prioritas
pengelolaan banjir dan kekeringan dilakukan berdasarkan kombinasi dari tiga
pendekatan: klimatologis, hidrologis, dan agronomis, dengan memperhitungkan
tingkat kemudahan dan pembiayaannya. Penetapan prioritas dilakukan secara
partisipatif oleh pemangku kepentingan, petani dan petugas lapangan.
Prioritas I:
Klimatologis: Wilayah
yang sangat rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah
Aliran Sungai (DAS) dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat
kerusakan berat atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir dan kekeringan
Agronomis : Wilayah ini
merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas II :
Klimatologis : Wilayah
yang rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah
aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan
sedang atau penyebab lainnya, sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini
merupakan andalan sentra produksi padi.
Prioritas III :
Klimatologis: Wilayah
yang agak rawan banjir dan kekeringan akibat variabilitas/anomali iklim
Hidrologis : Daerah
aliran sungai dan atau jaringan drainase/irigasinya mengalami tingkat kerusakan
ringan atau penyebab lainnya sehingga terjadi banjir.
Agronomis : Wilayah ini merupakan andalan sentra
produksi padi.
B.Langkah Penanganan
Secara sistematis langkah
penanganan pengelolaan banjir dan kekeringan memuat dua strategi yaitu strategi
umum dan dan strategi khusus.
1. Strategi Umum
Masing masing daerah
menyusun pola tanam yang lebih ditail berdasarkan masukan seluruh pemangku
kepentingan dengan memperhitungkan prakiraan iklim, keandalan debit, jenis
komoditas yang diusahakan, dan aspek lainnya. Selanjutnya pola tanam tersebut
dievaluasi secara reguler 2 (dua) mingguan agar dapat disesuaikan network
planningnya dan diketahui periode kritisnya. Untuk itu diperlukan data dan
informasi peramalan iklim yang semakin akurat, penyuluh yang giat di lapangan,
penyusunan pola tanam dan jenis komoditas yang ketat serta perilaku petani yang
taat terhadap kesepakatan yang telah dibuat bersama, contoh network diagram
planning optimalisasi lahan sawah teknis pada Lampiran.
2. Strategi Khusus
Masing masing wilayah
banjir dan atau kekeringan, kelompok tani/P3A beserta petugas Dinas pertanian
dan Dinas Pengairan setempat harus melakukan work through di wilayah kerja
masing masing sebelum tanam untuk melakukan pengecekan kembali kesiapan saluran
dalam mendukung pelaksanaan pola tanam.
Membangun jaringan tingkat usaha tani dan atau
jaringan tata air mikro di setiap lokasi untuk perbaiki efisiensi ketersediaan
air
Untuk daerah yang mengalami banjir dan kekeringan introduksi tanaman yang tahan
genangan dan atau kekurangan air perlu dilakukan sambil menunggu perbaikan DAS
hulu dan perbaikan infrastruktur penanggulangan banjir dan kekeringan.
Ditail langkah penanganan
banjir dan kekeringan dapat dilakukan berdasarkan menu pilihan yang tersedia
dengan menyesuaikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi setempat. Pilihan
menu jangka pendek, menengah dan panjang disajikan sebagai berikut:
Jangka pendek
1) Klimatologis
Peningkatan kemampuan prakiraan iklim dan pengamatan perubahan iklim Sosialisasi/diseminasi
hasil prakiraan iklim Pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Mencari sumber air alternatif atau membuat sumur Rehabilitasi dan pemeliharaan
Jaringan irigasi dan drainase Pengembangan bangunan konservasi air irigasi
partisipatif;Pemanfaatanpompa air (pompanisasi) dengan energi angin
Pengembangan usahatani konservasi, reklamasi dan optimasi lahan
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat
dan pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan
rawa lebak (terlampir peta potensi rawa lebak) Pengembangan SRI/PTT/varietas
padi hemat air di lahan sawah untuk efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan Sekolah
Lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama
terpadu dan SL hemat air Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan
teknologi Peningkatan kinerja posko & pokja iklim (pusat &
daerah)Jangka Menengah
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklimMengoptimalkan sosialisasi/desiminasi
hasil prakiraan iklim Evaluasi dan pembaharuan (up dating) peta wilayah rawan
banjir dan kekeringan
2) Hidrologis
Membangun jaringan drainase dan irigasi Rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan
drainase/irigasi Pengembangan irigasi partisipatif; Pengembangan bangunan
konservasi air Pengembangan pompanisasi Konservasi das hulu Pengembangan
usahatani konservasi Pengembangan reklamasi dan optimasi lahan Gerakan nasional
kemitraan penyelamatan air (gnkpa) Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat
serta pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan
rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air.
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan sekolah
lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama
terpadu dan SL hemat air. Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan
teknologi pengelolaan air. Pelatihan petugas lapangan lanjutan Jangka Panjang
1) Klimatologis
Meningkatkan kemampuan pengamatan perubahan iklim. Pemanfaatan dana mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim Pembaharuan (up dating) database spasial dan
analisa spasial peta wilayah rawan banjir dan kekeringan Sosialisasi/desiminasi
hasil prakiraan iklim
2) Hidrologis
Pembangunan dan pemeliharaan jaringan drainase Pembuangan kelebihan air melalui
pompanisasi Pengembangan bangunan konservasi air Pengembangan irigasi
partisipatif Konservasi das hulu Pengembangan usahatani konservasi Pengembangan
reklamasi dan optimasi lahan Gerakan nasional kemitraan penyelamatan air
(GNKPA) Gerakan gemar menanam
3) Agronomis
Pengaturan dan pengawalan pola tanam yang baik dengan jadual tanam yang ketat
dan pemilihan komoditas yang tepat Khusus untuk kekeringan dapat memanfaatkan
rawa lebak dan pengembangan sri/ptt/varietas padi hemat air di lahan sawah
untuk efisiensi penggunaan air
4) Kelembagaan
Peningkatan kemampuan dan kemandirian P3A/kelompok tani Pengembangan sekolah
lapang (SL) pertanian yang merupakan integrasi SL iklim, SL pengendalian hama
terpadu dan SL hemat air Sosialisasi, penyuluhan, diseminasi informasi dan
teknologi pengelolaan air
Pelatihan petugas lapangan
METODE PENYUSUNAN
Penyusunan peta banjir
dan kekeringan partisipatif ini dilakukan melalui diskusi antar pemangku
kepentingan untuk menghimpun data dan informasi serta bahan masukan pengambilan
keputusan. Instansi yang berpartsipasi aktif dalam penyusunan awal meliputi:
Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan, Badan
Meteorologi dan Geofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional.
Berdasarkan hasil beberapa kali diskusi, maka disepakati metode penyusunan peta
pengelolaan banjir dan kekeringan partisipatif yang meliputi: (i) desk work
untuk mempersiapkan peta rawan banjir dan kekeringan, rawan kekeringan dan
rawan banjir dan penentuan kabupaten prioritas (ii) validasi lapangan bersama
instansi terkait di kabupaten prioritas (iii) pemutakhiran (up dating) peta
rawan banjir dan kekeringan dan naskahnya (iv) finalisasi cetak biru
pengelolaan banjir dan kekeringan sekaligus presentasi final di depan Menteri
terkait (v) sosialisasi hasil cetak biru ke masyarakat dan implementasi
lapangan. Rencana ditail jadual waktu penyusunan cetak biru sampai dengan
sosialisasinya disajikan pada Gambar Lampiran 1.
Berkaitan dengan butir
(i), maka ditetapkan pada tahap pertama penyusunan peta rawan banjir dan
kekeringan akan diselesaikan naskah utama dan naskah metode penyusunan wilayah
rawan banjir dan kekeringan untuk pulau Jawa (Buku I) dengan pertimbangan
karena jawa mensuplai 50% produksi pangan nasional, wilayahnya paling banyak
terkena banjir dan kekeringan. Selanjutnya secara bertahap akan diselesaikan
Nusa Tenggara (NTB dan NTT) (Buku II), Pulau Sumatra (Buku III), Pulau
Kalimantan (Buku IVI), Sulawesi (Buku V), Bali dan (VI) serta Maluku dan Papua
(Buku VII).
Paling tidak diperlukan
lima elemen dasar untuk menyusun peta rawan banjir dan kekeringan yaitu (1)
peta lahan sawah (2) peta daerah rawan banjir dan (3) peta daerah rawan
kekeringan (4) peta daerah irigasi dan (5) peta administrasi level kecamatan.
Superimpose/overlay kelima peta yang ada menghasilkan tematik rawan banjir dan
kekeringan, rawan banjir, rawan kekeringan dan wilayah sawah yang belum rawan
pada tingkat kecamatan.
Untuk menvalidasi peta rawan banjir dan
kekeringan yang dihasilkan melalui desk work, maka peta-peta yang dihasilkan
divalidasi ke lapangan bersama instansi terkait pusat, propinsi maupun
kabupaten. Kegiatan validasi ke lapangan dipilih berdasarkan data sebaran luas
wilayah yang terkena banjir dan atau kekeringan serta besaran dampak yang
ditimbulkan. Berdasarkan hasil diskusi dengan instansi terkait, maka disepakati
ada 12 Kabupaten di 3 Propinsi Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ditail
ke 12 kabupaten tersebut adalah sebagai berikut:
Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Karawang, Indramayu, Cirebon dan Cianjur)
Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Grobogan, Sragen, Pati, Rembang dan Blora)
Propinsi Jawa Timur (Kabupaten Gresik, Lamongan dan Bojonegoro)
Selanjutnya propinsi
terkait diminta untuk dapat melakukan validasi kabupaten/kota rawan banjir dan
kekeringan dengan menggunakan metode yang sama saat melakukan validasi ke 12
kabupaten prioritas.Finalisasi cetak biru pengelolaan banjir dan kekeringan
dilakukan dengan mengundang instansi terkait dalam jumlah yang lebih banyak
untuk menghimpun masukan akhir sebelum dilakukan cetak final. Pendekatan
partisipatif ini dimaksudkan agar hasil cetak biru menjadi milik bersama
(common properties), sehingga merasa mempunyai kewajiban yang sama dalam
menyusekseskan implementasi pengelolaan banjir dan kekeringan.
Untuk memperoleh masukan dan dukungan pengambil
keputusan sektoral, maka akan dilakukan ekspose dengan mengundang Menteri dan
Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait untuk memperoleh dukungan
kebijakan dan pendanaan yang konsisten.
Setelah diperoleh dukungan pengambil kebijakan
tertinggi sektoral dan lembaga pemerintah non departemen, maka sosialisasi
dilakukan terhadap masyarakat luas sebagai pemangku kepentingan pertama dan
utama. Peta, data dan informasi tentang wilayah rawan banjir dan kekeringan
serta prioritas pengelolaannya disosialisasikan kepada petani dan seluruh
pemangku kepentingan di kabupaten/kecamatan rawan banjir dan kekeringan untuk
memperoleh masukan dan kesepakatan serta dukungan dalam implementasinya.
Masyarakat termasuk petani perlu diberikan kesempatan luas untuk mengelola
banjir dan kekeringan sesuai hasil musyawarah. Pemerintah berperan sebagai
fasilitator dan dinamisator, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi
pelaku utama dalam pengelolaan banjir dan kekeringan. Melalui pendekatan
partisipatif ini, maka pemerintah dapat menggunakan succes story dari pilot
project pengelolaan banjir dan kekeringan untuk diadopsi, dimodifikasi dan
dikembangkan di daerah lain.Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan banjir dan
kekeringan dapat dilakukan melalui: (i) penentuan prioritas pengelolaan (ii)
identifikasi faktor penyebab (iii) pemilihan model pengelolaan banjir dan kekeringan
yang partisipatif.
PENGELOLAAN BANJIR DAN
KEKERINGAN LAPANGAN
Pengelolaan wilayah
banjir dan kekeringan per kecamatan secara umum dibagi menjadi tiga kategori
yaitu :
A. Prioritas I, yaitu
kecamatan yang sawahnya mengalami banjir dan juga kekeringan pada lokasi yang
sama.
Daerah tersebut perlu
mendapatkan penanganan pertama mengingat dampak ekonomi dan sosialnya relatif
lebih besar jika dibandingkan dengan lainnya. Pada daerah-daerah tersebut
termasuk daerah yang Sangat rawan banjir dan kekeringan akibat
variabilitas/anomali iklim.
Daerah tersebut umumnya terjadi di bagian hilir
daerah irigasi (golongan 4, 5 dst), daerah yang sumber irigasinya hanya
mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah sawah tadah hujan
yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah dangkal)
B. Prioritas II, yaitu
kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih
besar atau sama dengan areal yang aman.Daerah tersebut bisa terjadi di bagian
tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya
mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan
mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi.
C. Prioritas III, yaitu
kecamatan dimana areal sawah yang rawan mengalami banjir dan kekeringan lebih
kecil dari areal yang aman.Daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air
alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang.Pengelolaan banjir dan
kekeringan tersebut dilakukan melalui keterpaduan pendekatan klimatologis,
hidrologis dan agronomis dalam program jangka pendek, menengah dan panjang.
Selanjutnya aplikasi
lapangan pengelolaan banjir dan kekeringan dalam bentuk jadual tanam yang ketat
yang didukung penyuluh yang giat, dengan komoditas tepat dan petani taat
disajikan dalam bentuk rencana jejaring kerja (network planing)